Jakarta (ANTARA News) - Inspirasi tidak selalu datang ketika seseorang duduk sendiri di tempat sunyi nan senyap, tetapi bisa dari membaca buku mengenai kisah perjalanan hidup seseorang. Itulah yang diharapkan para penulis buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia, Catatan Satu Abad (1908-2008)".

Buku berisi tentang kisah perjalanan tokoh-tokoh berprestasi dan berjasa bagi perkembangan olahraga di Tanah Air itu, oleh para penggagas, penulis, maupun penerbitnya diharapkan menjadi sumber inspirasi bagi generasi masa depan dalam mengukir prestasi di bidang olahraga.

Perbedaan mencolok buku setebal 278 ini dengan buku-buku himpunan profil atlet atau tokoh olahraga Indonesia lain adalah dalam hal pembagian rentang waktu, dimana diurutkan secara runut mengenai kisah tokoh pada masa prakemerdekaan hingga massa reformasi 2008.

Dalam masa prakemerdekaan dikisahkan bagaimana Ir Soeratin mempelopori pendirian Persatuan Sepak Raga Seloeroeh Indonesia yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) hingga sekarang.

Kisah Soeratin yang mengawali kisah perjalanan 99 tokoh olahraga dalam buku ini sangatlah menyentuh. Ia yang bukan seorang atlet olahraga, telah berjuang tanpa lelah mempersatukan bangsa di tengah himpitan ideologi penjajahan Belanda, melalui sebuah organisasi olahraga sepakbola.

Menyimak perjuangan Soeratin yang menempatkan sepakbola sebagai sarana menanamkan semangat kebangsaan dan persatuan Indonesia, sungguh wajar jika penulis menyertakan sedikit kritik dalam tulisan mengenai Soeratin ini.

Penulis mengatakan, ide mempersatukan bangsa dengan sepakbola yang dipikirkan Soeratin sama sekali bertolak belakang dengan kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini yang lebih identik dengan cerita kerusuhan antar suporter atau manajer memukul wasit dan kisah-kisah "hitam" lainnya.

Setidaknya dengan membaca buku tentang sejarah persepakbolaan Indonesia di buku ini dari era Soeratin hingga Indonesia dijuluki "Macan Asia" pada 1950 hingga 1960-an, sungguh kita sekarang merasa kecil. Jangankan untuk bisa sejajar dengan klub-klub Eropa, di Asia saja kita selalu "keok".

Kisah Soeratin dan Ramang, sang tukang becak yang menjadi legenda sepakbola, hanyalah sepenggal dari kisah tokoh olahraga dalam buku "99 Tokoh Olahraga Indonesia" ini, karena masih ada kisah 97 tokoh olahraga lainnya yang juga menarik untuk diketahui.

Misal pada masa awal kemerdekaan, bagaimana Widodo Sosrodiningrat menyatukan pemimpin olahraga ke dalam PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia), terbentuknya KOI (Komite Oliampiade Indonesia) hingga sepak terjang Rita Suwobo sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Those of you not familiar with the latest on tech now have at least a basic understanding. But there's more to come.

Pembaca juga bisa menyimak mengenai kejayaan olahraga Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soekarno ketika di tengah-tengah susahnya kehidupan rakyat waktu itu, ia berhasil membangun Gelora Bung Karno dan Kompleks Olahraga Senayan, dan Indonesia menjadi runner up Asian Games 1962 sekaligus menjadi tuan rumah pesta olahraga yang diikuti 17 negara tersebut.

Perjalanan tokoh dan olahragawan pada masa Orde Baru juga diceritakan dengan baik dalam buku ini, termasuk kejayaan perbulutangkisan Indonesia di kompetisi-kompetisi dunia seperti Piala Thomas dan Uber, Olimpiade dan All England.

Dengan penulisan terstruktur yang membagi perjalanan para tokoh Indonesia dalam enam periode masa, membuat pembaca buku ini bisa belajar dan membandingkan bagaimana kondisi perolahragaan Indonesia dari jaman pra kemerdekaan hingga masa reformasi.

Kenapa 99?

Meski sudah mengadopsi berbagai pemangku kepentingan dan mengisahkan perjalanan karier atlet dan tokoh olahraga dari berbagai cabang, bukan berarti buku ini tidak ada kekurangan.

Dalam hal jumlah tokoh yang ditulis, kenapa tim kerja buku ini membatasinya hanya 99. Apa alasan penentuan 99 tokoh, kenapa tidak 100 atau lebih? Angka 100 sebenarnya lebih "nyambung" jika dikaitkan dengan tema "Catatan Satu Abad" (100 tahun) dalam judul buku itu.

Pembatasan 99 tokoh membuat beberapa tokoh yang sebenarnya layak untuk ditulis dan dibagi pengalamannya kepada pembaca, entah sengaja atau tidak menjadi terlewatkan. Petinju legendaris Elyas Pical misalnya, prestasinya juga patut dikenang karena telah menjuarai kelas bantam yunior IBF pada tahun 1980-an. Ia juga petinju pertama Indonesia yang mampu menyabet gelar juara tinju dunia profesional.

Kekurangan-kekurangan ini bukan tidak disadari. Tim penulis dalam Sekapur Sirih juga mengakui hal itu. Menurut mereka, kesulitan-kesulitan memilih orang-orang yang pantas ditampilkan, membuat awal penggarapan buku ini agak tersendat.

Pemilihan 99 tokoh diputuskan setelah tim penulis melakukan verifikasi yang melibatkan pihak Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, pengamat sejarah olahraga Indonesia, dan para wartawan olahraga older Kantor Berita ANTARA, lembaga yang menggagas pembuatan buku ini.

Tim Penulis juga menyatakan minta maaf karena tidak bermaksud mengecilkan keberadaan para tokoh olahraga yang mungkin memang lebih pantas ditampilkan, tetapi tidak dikisahkan dalam buku tersebut.

Namun, terlepas dari kekurangan yang dimiliki, buku yang isinya tidak sekedar daftar riwayat prestasi para tokoh, tetapi juga mengupas berbagai aspek kehidupan para tokoh olahraga sebagai sosok manusia utuh, punya gagasan, harapan, kekecewaan, kesedihan, dan ketauladanan ini, patut menjadi sumber inspirasi bagi siapa pun, baik pecinta olahraga atau pun bukan.

Selebihnya buku ini tentu pantas untuk dikoleksi sebagai salah satu dokumen penting tentang perkembangan, spirit, dan kejuangan olahraga di Indonesia.(*)