Jakarta (ANTARA News) - Berapakah sumbangsih pengusaha untuk memenuhi kebutuhan normatif pekerja, khususnya perlindungan dari risiko kerja?. Jawabannya sangat mengejutkan, kecil sekali, bahkan lebih kecil dibanding perlindungan yang diberikan perusahaan-perusahaan di negara ASEAN, bahkan di wilayah Afrika sekalipun. Di Indonesia, iuran pengusaha hanya 3,7 persen, sedangkan iuran dari pekerja 2 persen (total 5,7 persen dari upah). Jika dibandingkan dengan iuran di Malaysia yang mencapai 20-22 persen dan di Singapura yang sebesar 36 persen maka iuran jaminan sosial di Indonesia sangat kecil.

Dengan kondisi demikian, tidak heran jika manfaat yang bisa diberikan PT Jamsostek belum maksimal, jika dibandingkan dengan manfaat yang diberikan jaminan sosial di Malaysia dan Singapura.

Di kedua negara tersebut, dana jaminan sosial bisa menjadi sudah penyangga dan jaring pengaman perekonomian negara, maka di Indonesia baru sekadar pemberian pinjaman uang muka perumahan, beasiswa dan pengobatan gratis.

Mengapa kondisi demikian?. Jawabannya, ada pada pemerintah dan DPR karena kedua pilar negara inilah yang menentukan peraturan perundangan yang menjadi dasar dari penyelenggaraan jaminan sosial.

Seperti diketahui, jaminan sosial (social security) adalah hak asasi pekerja yang dijamin UU, serta tercantum dalam salah satu konvensi ILO. Dari segi peraturan perundangan, hak tersebut sangat kuat. Pengusaha yang melanggar aturan tersebut dikenakan sanksi denda dan atau kurungan badan (penjara).

Namun, lihatlah information terakhir yang dikeluarkan PT Jamsostek. Hanya, sekitar 8 juta pekerja yang menjadi peserta aktif, sisanya sekitar 17 juta pekerja menjadi peserta pasif (tidak membayar atau tersendat-sendat dalam pembayaran iuran).

Itu artinya perusahaan, hanya mendaftarkan, lalu membayar iuran di bulan-bulan pertama lalu nunggak. Kondisi itu diperparah lagi dengan masih maraknya praktik pendaftaran sebagai tenaga kerja (PDS TK) dan PDS upah.

Dalam praktik PDS TK, perusahaan hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya, sisanya tidak didaftarkan, sedangkan pada praktik PDS upah, perusahaan hanya membayar iuran berdasarkan upah pokok, sedangkan tunjangan dan pendapatan lainnya tidak.

Kondisi ini, belum seberapa. Bagaimana dengan ketaatan badan usaha milik negara (BUMN) dalam kepesertaan Jamsostek?. Jawabannya, belum semua dari mereka yang taat. Praktik PDS TK dan PDS upah masih terjadi atas mereka.


Ketaatan BUMN

Lebih parah lagi, ada perusahaan negara (diantaranya PLN) yang tidak mendaftarkan perusahaannya dalam agenda Jamsostek. Artinya, perusahaan milik negara sendiri tidak taat pada peraturan perburuhan yang dibuat pemerintah dan DPR.

Jika menimbang kondisi demikian, di mana kewibawaan pemerintah dalam menjalankan agenda yang dirancangnya sendiri?. Bukankah pemerintah yang berkewajiban memberi pekerjaan dan melindungi pekerjanya?.

Once you begin to move beyond basic background information, you begin to realize that there's more to tech than you may have first thought.

Bukankah pemerintah yang harus menegakkan aturannya sebelum aturan itu ditegakkan (dikenakan) kepada pihak lain (swasta)? dan, masih banyak pertanyaan besar lain yang harus dijawab.

Dalam konteks, penyelenggaraan Jamsostek, maka Depnakertrans yang menjadi pintu utama penegakan hukum. Instansi ini memiliki pegawai pengawas dan juga pegawai penyidik.

PNS dengan kualifikasi tersebut dapat membuat berita acara pemeriksaan (BAP) dan menyeret pengusaha nakal ke pengadilan. Lalu, lihatlah, seberapa banyak pengusaha nakal, termasuk direksi BUMN yang tidak memenuhi hak pekerjanya yang diseret ke pengadilan?.

Jawabannya, kecil sekali (kata lain untuk tidak ada) dan tidak memberi efek jera. Jika, penegakan hukum (law enforcement) dilaksanakan maka praktik PDS TK, PDS upah, bahkan pengabaian kepesertaan tidak akan terjadi, termasuk di badan usaha negara milik negara.

Kondisi yang terjadi pada upaya pemenuhan hak pekerja PLN, misalnya, direksi menyatakan sudah memberikan perlindungan yang lebih baik pada pekerja, kebijakan itu didukung oleh elit serikat pekerja BUMN tersebut.

Permasalahan, bukan pada perlindungan yang lebih baik (meskipun itu kebenarannya bisa dipertanyakan), tetapi pada kepatuhan BUMN pada UU yang dibuat oleh pemiliknya (pemerintah).

Pemberian perlindungan yang lebih baik, tidak menggugurkan kewajiban BUMN atau swasta untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam agenda jaminan sosial. Sudah terlalu banyak kasus, perusahaan asuransi (dalam dan luar negeri) abai pada kewajibannya.

Lalu, apa jadinya jika suatu perusahaan asuransi swasta abai pada kewajiban jangka panjang (jaminan hari tua, misalnya) dari nasabahnya?.

Karena itu pula, pada semua negara --Amerika Serikat yang open-minded sekalipun-- menjadikan pemerintah sebagai penanggungjawab pelaksanaan jaminan sosial melalui badan usaha atau waliamanah yang ditunjuk dan dijamin keberadaannya.

Artinya, pemerintah menjamin semua iuran dan manfaat dari jaminan sosial akan sampai kepada pekerja hingga dia pensiun nantinya. Jaminan hari tua pekerja hanya mungkin tidak terbayar jika pemerintah negara tersebut pailit (bubar).

Jika, di negara-negara maju, bahkan negara dunia ketiga sekalipun, kepesertaan jaminan sosial mencapai 80-95 persen, maka di Indonesia, peserta aktifnya hanya 8 juta dari sekitar 30 juta pekerja formal, dan akan lebih kecil lagi jika dibandingkan dengan 92 juta pekerja formal dan informal.

Inilah penyelanggaraan jaminan sosial ala Indonesia, dimana sejumlah anomali terjadi, seperti anomali penegakan hukum umumnya, dimana penyalur suap menjadi tersangka, sementara penyedia uang suap bebas kemana-mana.

Akankah semua pekerja mendapatkan hak normatifnya?. Jawabannya ada pada pemerintah dan DPR, garda terdepan penyelenggaraan negara.(*)