Jakarta (ANTARA News) - Berselancar di gelombang kisruh Anggodo Widjojo - adik tersangka kasus korupsi Anggoro Widjojo - publik terus mencari untuk menemukan oase kepercayaan di tengah ketidakpastian gurun kehidupan, yang dalam bahasa Latin disebut sebagai "argumentum ad misericordiam". Tanpa perlu mengerutkan dahi sebagai ungkapan dari kriminalisasi berpikir, publik dapat mengail beberapa contoh argumentum ad misericordiam. Salah satunya dapat dilirik dari kubah percintaan anak baru gede (ABG).

Ungkapan, "Wah, kemarin dia tersenyum padaku. Itu belum pernah terjadi. Aku merancang semua perkataan jenaka yang akan kunyatakan, lalu saat dia menghampiriku, pipiku sontak merona dan aku memilih pergi dari tempat itu." Cihui!

Bertabur pernik jenaka dan bersolek kata-kata di cermin asmara, gejolak amor membuncah lantaran, "ketika jatuh cinta, diriku berubah". Ujung-ujungnya, perasaan serba mempribadi, "aku berantakan ketika dia mendekat, dan lututku tiba-tiba lemas. Mengapa aku tak mampu langsung menghampiri dan mengungkapkan seluruh perasaan ini? Alih-alih, aku tersenyum sendiri".

Asmara berbalut suka. Apakah cinta terwadahi oleh perasaan serba tidak menentu dan melenakan hati serba merindu? Cinta menjawab untuk cinta. Ketika formula khas asmara didikte argumentum ad misericordiam, maka gunjang-ganjing Anggodo pun dapat dibaca oleh publik.

Dalam bahasa Latin, kata "misericordia" artinya belas kasihan, kerelaan, kemurahan dan kedermawanan. Nah, yang diterima publik justru ungkapan sarat belas kasihan. "Pemeriksaan di polisi saya siap, tapi saya jangan diestafet`, saya capek sudah tua," kata Anggodo ketika memberi keterangan di hadapan Tim Delapan di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jakarta, Kamis (5/11).

Sekali lagi, publik diseret kepada ungkapan sarat kekhawatiran. "Semalam setelah ada ekspose bapak, saya minta perlindungan atas keselamatan, bukan saya takut diadili rakyat, karena saya yakin saya ini rakyat Indonesia yang butuh keadilan. Begitu gencarnya rakyat, yang saya takutkan itu dari KPK," kata Anggodo kepada Adnan Buyung Nasution yang didampingi sejumlah anggota Tim lainnya.

Baik ungkapan "... saya jangan diestafet, saya capek sudah tua", maupun "...bukan saya takut diadili rakyat, karena saya yakin saya ini rakyat Indonesia yang butuh keadilan", bernuansa kesimpulan yang masih memerlukan dukungan premis-premis mendasar. Mengapa tiba-tiba sampai takut diadili rakyat? Apakah rakyat begitu mengabaikan nurani kemanusiaan?

It seems like new information is discovered about something every day. And the topic of tech is no exception. Keep reading to get more fresh news about tech.

Forum Rapat Kerja Komisi III DPRRI dengan Kepala Polri di gedung DPR, Kamis (5/11) malam, digunakan oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Susno Duaji untuk curhat. "Istri saya tidak sanggup keluar rumah karena katanya saya dapat duit 10 miliar. Apalagi ditambah kata-kata saya harus dipecat. Sebagai sorang muslim, Lillahi Taala saya tidak pernah dapat 10 milyar dari siapapun terkait Bank Century," ujar Susno.

"Ke mana lagi saya harus mengadu. Saya sudah mengadukan pada Tuhan. Cabut nyawa saya kalau saya melakukan. Mudah-mudahan meeting ini bisa melepaskan penderitaan anak istri saya. Yang satu belum tentu salah, yang banyak belum tentu benar," kata dia.

Alunan pernyataan seputar kisruh Anggodo itu bertangga nada meminta belas kasihan, kerelaan, kemurahan dan kedermawanan dari publik. Pengajuan argumentum ad misericordiam bertujuan menimbulkan rasa belas kasihan dan kemurahan hati agar dapat diterima publik dengan nurani bening, dengan hati jernih.

Di bawah tajuk kesesatan relevansi dalam logika, argumen itu biasanya berhubung dengan usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan. Dalam sebuah pengadilan, seorang pesakitan mengajukan argumen untuk menimbulkan belaskasihan hakim. Dan publik diharap tersentuh belaskasihan ketika membaca naskah berjudul kisruh Anggoro.

Menurut Managing Director of Imparsial Rusdi Marpaung, tangisan Susno merupakan cermin institusi kepolisian yang rapuh dalam menghadapi masalah. "Seorang jenderal menangis, itu cengeng juga. Rakyat jadi bisa melihat sendiri itulah mentalitas para pejabat negara dan institusi yang cengeng. Tapi menurut saya, itu air mata buaya yang diperlihatkan semalam," ujarnya, saat jumpa pers, di Kantor Imparsial, Jakarta, Jumat (6/11), seperti diwartakan laman Kompas.

Ketika meniti tepi kisruh Anggodo di bawah cahaya sesat pikir argumentum ad misericordiam, maka publik dicitrakan sebagai penonton dari tonil krisis kepercayaan. Akibatnya, publik diseret kepada tragedi salah belajar, karena dipaksa beroleh hasil instan tanpa melewati proses berjenjang. Lebih lagi, kata "distrust" dan "mistrust" sudah demikian dijejalkan ke telinga publik.

Ketiadaan kepercayaan memupus inovasi dan merusak kreasi publik. Implikasinya, tragedi salah belajar berujung konflik, karena paceklik kepercayaan. Publik tidak lagi dapat menuntut ilmu di sekolah masyarakat. Mata batin publik mengalami krisis kontemplasi kehidupan ketika melewati isu kisruh Anggodo.

Akankah publik berucap, "hatiku hanyalah cangkang kosong dan pedih sepanjang malam. Perutku melilit, jantungku terasa mengempis, denyut nadiku tidak beres." Ini play dari sisi romantis publik karena, "ketika diriku jatuh cinta, maka aku pun berubah".(*)