Gorontalo (ANTARA News) - Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) tingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah di Gorontalo terasa sepi. Tak ada konvoi besar-besaran, siswa yang tertarik mencorat-coret bajunya di tepi jalan pun bisa dihitung dengan jari.

Pengumuman hasil UN kali ini cukup menohok sanubari orang per orang, karena angka kelulusan Gorontalo menduduki peringkat terendah kedua di Indonesia, setelah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ada yang protes, ada yang kecewa, ada yang tertawa sinis, dan yang mempertanyakan kinerja pemerintah dan bahkan ada yang `diam-diam` bangga dengan hasil tersebut.

Pengumunan hasil UN oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhamad Nuh menunjukkan bahwa dari 7.157 peserta UN di Provinsi Gorontalo, 3.849 di antaranya lulus, dan 3.308 siswa atau 46,22 persen siswa lainnya harus mengulang.

Mendiknas mengatakan hasil UN informasi beasiswa gratis 2010 yang paling menonjol yaitu di Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2009, katanya, tingkat kelulusannya 90 persen lebih, namun hasil UN tahun ini hanya 53 persen.

"Namun, Kepala Dinas Pendidikan Gorontalo, mengatakan, berapa pun turunnya tingkat kelulusan hasil UN, yang paling penting adalah tingkat kejujurannya. Artinya, dari Gorontalo ada contoh komitmen bahwa kejujuran menjadi nomor satu," kata M. Nuh.

Kejujuran vs Kelulusan

Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejujuran dan angka kelulusan di daerah tersebut menunjukkan kenyataan yang berlawanan. Tahun 2009 angka kelulusan di Gorontalo mencapai 90 persen, dengan angka kejujuran yang sangat minim.

Akibatnya, tiga sekolah di Kota Gorontalo harus menanggung beban berkepanjangan, karena harus menyelenggarakan UN ulang. Indikasi adanya kebocoran soal dan kunci jawaban menyeruak kala itu.

Tahun 2010, hasil penerapan program unggulan Provinsi Gorontalo yakni pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) kembali diuji. Hampir separuh siswa tak lulus dan sebagai gantinya angka kejujuran di Gorontalo berada di posisi memuaskan.

"Yang penting itu adalah penyelenggaraan UN jujur dulu, mengenai peringkat kelulusan kami masih akan menelusuri apa penyebabnya," ujar Kepala Sub Dinas Pendidikan Menengah Dikpora Provinsi Gorontalo, Abdul Rahman Harun.

Meski Diknas cukup bangga dengan tingkat kejujuran tersebut, lulus SMA dengan cara yang jujur harusnya menjadi harga mati bagi pemerintah daerah, yang selalu menggembar-gemborkan soal pengembangan SDM, sebagai satu dari tiga program unggulan.

Tingkat kejujuran UN di Gorontalo memang bukan isapan jempol belaka. Anak Gubernur Gorontalo yakni Imawan Ismail juga bernasib sama dengan ribuan siswa lainnya. Siswa SMA Negeri I Kota Gorontalo itu harus merasakan getirnya mengulang UN, yang selama ini sudah cukup menghantui para siswa.

"Imawan bukan tidak lulus, tapi harus mengulang bersama dua ratusan siswa lainnya," kata Humas SMAN I Kota Gorontalo, Repi Lambert, Selasa (27/4).

Truthfully, the only difference between you and tech experts is time. If you'll invest a little more time in reading, you'll be that much nearer to expert status when it comes to tech.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sekolah di salah satu SMA unggulan, dengan fasilitas belajar yang super lengkap, tak menjamin anak didik bisa mendulang sukses pada UN.

Bimbingan orang tua di rumah menjadi salah satu faktor penting dalam mendukung sang buah hati agar bisa melangkah ke kursi perguruan tinggi.

"Tingkat kejujuran UN di Gorontalo itu jangan diukur dengan ketidaklulusan Imawan, tapi karena kami memang berkomitmen untuk menunjukkan proses penilaian yang lebih baik," kata Kepala Dikpora Provinsi Gorontalo.

Lain Gubernur, lain pula dengan Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, Idris Rahim. Kali ini Idris bangga dengan anaknya, Regina Rahim, yang justru meraih prestasi dalam UN 2010.

"Regina mendapat peringkat tertinggi UN di kelasnya, dengan nilai rata-rata 8,0," ujarnya sambil tersenyum.

Ia mengakui tak mudah membimbing remaja seusia Regina untuk konsisten dalam belajar. Dirinya bahkan sering terjun langsung memantau kondisi anaknya dalam mempersiapkan diri mengikuti UN.

"Dukungan orang tua akan membuat mereka lebih percaya diri dan belajar bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan," ujarnya.

Gerakan Tolak UN

Hasil UN di Gorontalo yang membelalakkan mata, membuat kontroversi pelaksanaan UN kembali merebak. Siswa-siswa yang lulus, terlebih yang tidak lulus dan siswa yang masih sekolah menyuarakan gerakan tolak UN.

Perbincangan mengenai UN pun hadir dalam berbagai ruang dan waktu.

"Kami para siswa dirugikan dengan sistem penilaian UN, sehingga bagi kami UN tak lebih dari sekedar alat untuk menghantui kami selama ini," kata Indra, salah seorang siswa.

Indra justru setuju, bila penilaian UN juga mempertimbangkan hasil raport siswa dari semester awal hingga akhir. Itu berita terbaru dianggap adil, daripada hanya mempertaruhkan nasib kelulusan siswa pada ujian berstandar nasional.

Nasib sedih 3.308 siswa yang mengulang, tak berlaku di Madrasal Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Gorontalo. Seratus persen siswanya lulus dengan nilai memuaskan. Alhasil, sekolah unggulan tersebut selalu menjadi yang terbaik dalam hasil UN.

MAN tersebut menempati peringkat pertama untuk perolehan nilai mata ujian IPA sebesar 48,83. Seluruh siswa di sekolah ini lulus seratus persen, baik dari mata ujian IPA, maupun dan IPS.

Meski `keadilan` dalam pelaksanaan UN harus ditakar baik-baik, namun pemerintah, DPRD dan orang tua siswa harus secepatnya menemukan formula pendidikan yang tepat. Ini penting agar tak menimbulkan gonjang ganjing dalam dunia lowongan kerja terbaru pendidikan.

(T.D015/H-KWR/S026)