Pekanbaru (ANTARA News) - Mata Emmawati (34) menerawang menatap langit-langit rumahnya yang terbuat dari kayu. Tak dipedulikannya, sinar matahari yang menelisik di kisi jendela. Tangannya sibuk meremas-remas bagian bawah daster yang dikenakannya. Tak berapa lama kemudian, mukanya yang semula mengembangkan senyum perlahan-lahan berubah keruh. Dan satu persatu butir airmata menetes membasahi pipinya. "Joice anak yang riang dan tak banyak pintanya. Ia jarang sakit, sekalinya sakit nyawanya langsung terenggut," kenang warga Sidomulyo, Senapelan, Pekanbaru, sembari menunjukkan foto usang dua gadis kecil yang sedang tersenyum yang terpajang di dinding kayu tersebut.

Emma masih belum menguasai dirinya, ketika ia berceritanya mengenai anaknya yang sudah didaftarkan untuk masuk ke TK Metta pada Senin (26/4), dua hari sebelum Joice meninggal. Bahkan lanjutnya, perlengkapan untuk masuk TK sudah dibelinya lengkap.

Matanya menyapu seluruh ruangan rumahnya sembari memeluk dua anaknya yang tertidur. Dikatakannya, selain dirinya yang masih trauma bertemu orang banyak, anak-anaknya pun gelisah sepeninggal Joice.

Joice Evelyn merupakan bocah malang pengidap flu burung yang meninggal akibat flu burung pada Rabu (28/4) lalu. Joice, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Emmawati dan Harapan Bagariang. Hingga saat ini, Emma belum bisa melupakan Joice sepenuhnya. Joice menurutnya, anak yang tidak banyak tingkah, berbeda dengan dua saudaranya Maharani dan Pandi.

"Permintaan terakhir anak itu cuma mau diajak ke mal, ketika sembuh dari demam. Belum sempat di bawa ke mal, ia kembali jatuh sakit dan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya," ujar Emma.

Hingga saat ini pun, ia belum sepenuhnya percaya anaknya tersebut meninggal akibat flu burung. Pasalnya, anaknya tidak ada kontak langsung dengan unggas. Begitu juga di sekeliling rumahnya tidak ada yang memelihara unggas dan tak ditemukan pula unggas yang mati mendadak.

"Tidak ada sama sekali. Anak saya itu, anak rumahan. Paling jauh main cuma di depan rumah. Itu juga bersama adiknya," kata Emma saat ditemui ANTARA, Jumat (14/5)

Begitu juga dengan hasil sampel hewan yang diambil Dinas Pertanian dan Kesehatan Kota Pekanbaru di sekitar rumahnya. Dari 150 hewan yang berada 200 meter di rumah tersebut, tak satupun juga diketahui mengidap virus H5N1 tersebut.

"Terakhir, sebelum masuk rumah sakit memang kami makan ayam kampung yang digoreng. Tapi ayam tersebut, bukan ayam yang sudah mati yang saya beli. Saya beli hidup dan langsung dipotong saat itu juga. Kami sekeluarga makan ayam tersebut," jelasnya.

Diceritakannya, sehari usai makan ayam tersebut, Joice langsung demam dan dibawa ke RSUD Arifin Achmad. Menurut dokter yang menanganinya, Joice tidak apa-apa hanya saja ada virus di dalam tubuhnya dan disarankan untuk berobat jalan. Namun Emma, bersikukuh agar anaknya tersebut diinapkan. Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.

Akhirnya, dokter mengalah dan membiarkan Joice dirawat semalam. Keesokan harinya Joice diperbolehkan pulang. Namun sayangnya, lusanya suhu tubuh Joice kembali tinggi mencapai 38 derajat celcius, dan langsung dibawa ke RSUD Arifin Achmad. Namunnya sayangnya, di rumah sakit tersebut Joice tidak dilayani maksimal. Hingga akhirnya, ia dan suaminya bersepakat untuk membawanya ke RS Santa Maria.

"Setelah satu hari di RS Santa Maria, dokter yang merawatnya mengatakan Joice terkena virus. Akhirnya, dirujuk kembali ke RSUD Arifin Achmad, karena satu-satu RS yang dijadikan tempat perawatan pasien flu burung," katanya.

Malangnya, di RSUD Arifin Achmad yang merupakan satu-satunya rujukan perawatan pasien flu burung di Riau tak tanggap. Selama dalam perawatan, Emma tak satupun tahu siapa dokter yang menangani anaknya tersebut. Bahkan menurutnya selama ini yang menangani anaknya tersebut hanyalah perawat yang berganti shift sebanyak tiga kali.

"Katanya ketua tim yang menanganinya dokter Azisman. Kemudian, dikarenakan dokter tersebut ke Jakarta, akhirnya dilimpahkan ke dokter Riri yang merupakan dokter anak. Tapi hingga Joice meninggal, kami tidak pernah tahu yang mana dokter Riri tersebut," ceritanya.

Menurut, pengakuannya, selama ini yang merawat adalah para perawat. Ketika dirinya menanyakan hal tersebut pada perawat, perawat mengatakan dokter tersebut melakukan pemantauan melalui telepon. Bahkan, ketika anaknya membutuhkan darahpun, para perawat banyak yang tidak mengetahuinya.

Dan berita terbaru sadar ketika perawat melakukan pengecekan terhadap peralatan medis yang dipasang di tubuh Joice. Gejala terakhir sebelum Joice menghembuskan nafas terakhir suhu tubuh Joice semakin tinggi dan juga diiringi nafasnya yang semakin sesak.

You can see that there's practical value in learning more about tech. Can you think of ways to apply what's been covered so far?

"Saya sangat sesalkan pelayanan yang diberikan pihak RSUD. Kami yang membayar saja diperlakukan seperti ini, bagaimana warga miskin yang tidak sanggup bayar," ujarnya lirih.

Pihaknya, lanjutnya, membayar semua tagihan yang diminta pihak RSUD yang bernilai jutaan dengan berbagai cara. Walaupun hidupnya yang hanya sebagai istri penggali sumur bor, boleh dikatakan pas-pasan.

"Yang terpenting kami tidak meminta-minta. Pantang bagi kami," tegasnya.

Ia hanya mengharapkan ke depannya tak ada lagi Joice yang meninggal akibat flu burung atau buruknya pelayanan RSUD Arifin Achmad. Emma mengatakan pemerintah seharusnya cepat tanggap dalam menghadapi flu burung.

"Cukup Joice yang jadi korban, jangan ada lagi Joice-Joice berikutnya. Pemerintah seharusnya cepat tanggap, jangan hanya ketika jatuh korban, berita terbaru sibuk. Bahkan, hingga saat ini penyemprotan disinfektan yang dijanjikan pihak Dinas Pertanian tidak juga terealisasi," keluhnya.

Flu burung di Riau masuk pada pertengahan Mei 2007 lalu, dimana korban pertamanya yakni Yatino,warga Desa Semblinang Tebing Kecamatan Peranap Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) yang berjarak 200 kilometer dari Pekanbaru. Selain disebabkan flu burung, dalam penanganannya pun terjadi kekeliruan. Dimana pihak RS terlambat memberikan tamiflu yang merupakan obat flu burung, dan hanya memberikan obat flu biasa.

Sejak itu, flu burung di Riau seakan menyebar bagai teror mematikan. Pihak Dinas Kesehatan mengatakan hingga 2010, terdapat sembilan korban tewas akibat flu burung. Sedangkan yang diduga flu burung tak terhitung lagi jumlahnya.

Menurutnya, semua daerah di Riau merupakan endemis flu burung dan kasus-kasus itu diperkirakan mengalami peningkatan pada musim hujan karena virus akan mudah berkembang biak dan menular dalam kondisi udara yang lembab.

"Dan sayangnya, banyak orang tua yang tidak mengetahui anaknya terkena flu burung. Akibatnya, begitu dibawa ke RS kondisi anaknya semakin parah," ujar Kepala Dinas Kesehatan Riau, Mursal Amir.

Awal Mei lalu, pihak RSUD Arifin Achmad juga merawat tiga pasien flu burung yang berasal dari Siak yakni DAS (5), SF (44), dan AS (11). Namun akhirnya diperbolehkan pulang, dikarenakan tidak mengidap flu burung.

Ketua Tim Penanggulangan Flu Burung RSUD Arifin Achmad, dr Azizman Saad, Sp.P mengatakan virus flu burung hidup di dalam saluran pencernaan unggas. Virus ini kemudian dikeluarkan bersama kotoran, dan infeksi akan terjadi bila orang mendekatinya. Penularan diduga terjadi dari kotoran secara oral atau melalui saluran pernapasan.

" Virus ini menyebar dengan cepat diantara populasi unggas dengan kematian yang tinggi. Bahkan dapat menyebar antar peternakan dari suatu daerah ke daerah lain. Seperti halnya influensa, flu burung ini sangat mudah bermutasi," jelasnya.

Pasien yang terserang flu burung menunjukkan gejala sama terkena flu biasa, antara lain demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak napas. Dan Bila tidak segera ditolong, penderita bisa meninggal. Menurutnya penyakit ini dapat juga menyerang manusia, lewat udara yang tercemar virus itu.

"Tapi hingga saat ini belum ada bukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia. Dan juga belum terbukti adanya penularan pada manusia lewat daging yang dikonsumsi," ujar dia.

Mengenai kasus Joice, lanjutnya, berdasarkan hasil Balitbang Depkes, Jakarta, diketahui positif flu burung.

"Berdasarkan hasil rontgen diketahui paru-paru korban sudah tertutup. Dan juga mengalami panas tinggi," katanya. Dikatakannya, pihak RS sudah berupaya maksimal menyelamatkan anak tersebut.

"Kita sudah berupaya maksimal, namun setelah dirawat intensif kondisinya semakin buruk," pungkasnya. (IND/K004)