Jakarta (ANTARA) - Menyadari bahwa kota Jakarta terus berkembang menjadi metropolitan, bahkan megapolitan, muncul pemikiran perlunya dibentuk daerah kultural Betawi agar nilai-nilai dan perilaku budaya penduduk asli Jakarta itu dapat dihayati dalam bermasyarakat. Pelestarian komunitas Betawi itu disebut harus menjadi agenda penting dalam pembangunan di ibu kota Jakarta, guna membantu orang Betawi memelihara eksistensi budaya mereka.

"Ada baiknya perencana pembangunan daerah memikirkan pelestarian komunitas Betawi, karena tanpa komunitas tak mungkin kebudayaan dapat dilestarikan," kata budayawan Betawi Ridwan Saidi, dalam sebuah bukunya.

Jika memang demikian, maka upaya untuk melestarikan budaya Betawi akan makin membutuhkan komitmen dan informasi lowongan kerja terbaru keras para pemangku kepentingan. Strategi dan perencanaan pun harus disusun dengan baik.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bukannya tidak pernah merencanakan untuk menciptakan komunitas itu. DKI Jakarta pernah menetapkan daerah Condet di Jakarta Timur menjadi cagar budaya Betawi. Tapi, Condet berkembang layaknya daerah pinggirian kota besar lainnya.

Kini DKI Jakarta menetapkan Serengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebagai pengganti Condet. di sana dibangun sebagai perkampungan budaya Betawi.

Masih ada harapan agar daerah seluas 289 hektare itu menjadi teritori fisik keberadaan budaya Betawi di tengah kekhawatiran kegagalan dalam memberikan ruang bagi pengembangan budaya penghuni asli Jakarta itu.

Pemikiran mengenai perlunya ada wilayah budaya Betawi dalam melestarikan budaya Betawi ini muncul karena pada kenyataannya, pembangunan di DKI Jakarta dinilai telah menggusur masyarakat asli Betawi dari wilayah mereka.

Dengan alasan "demi pembangunan", orang Betawi kini banyak tersebar di pinggiran Jakarta, bahkan hingga ke Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, wilayah-wilayah yang mengepung Jakarta.

Wilayah Karet, Kuningan, Senayan, dan Kebayoran Baru, adalah beberapa wilayah di Jakarta yang merupakan teritori kebudayaan dan masyarakat Betawi yang kini telah hilang.

Banyak yang lenyap menyusul hilangnya teritori itu. Salah satunya sub-dialek Jakarta yang hidup di daerah-daerah itu, yang ternyata belum sempat diteliti dan dicatat oleh ahli bahasa.

If you don't have accurate details regarding tech, then you might make a bad choice on the subject. Don't let that happen: keep reading.

Dengan terpinggirkannya orang Betawi dari Jakarta, yang notabene adalah wilayah mereka sendiri, maka pendukung kebudayaan Betawi di Ibukota itu kian hari kian menipis. Tidak hanya dalam mendukung nilai-nilai dan perilaku Betawi, tapi juga dalam mendukung seni budaya Betawi.

Meski menurut Ridwan Saidi, seni budaya Betawi dapat dimainkan oleh siapa pun dan di mana pun, namun tuntutan kalangan masyarakat agar Pemprov DKI Jakarta menyediakan semacam pusat kebudayaan Betawi tampaknya perlu dipertimbangkan.

Sejumlah pelaku budaya Betawi yang giat dalam seni budaya lenong dan topeng Betawi, beberapa waktu lalu sempat menyampaikan "unek-unek"-nya tentang perlunya Jakarta membangun Gedung Kesenian Betawi.

Alasannya agar mereka mempunyai tempat untuk menunjukkan seni budaya yang merupakan embrio kesenian Jakarta, sementara pemangku kepentingan budaya Betawi lainnya tahu harus kemana jika ingin mengetahui dan menikmati seni budaya Betawi tersebut.

Dengan adanya gedung kesenian itu diharapkan perkembangan seni budaya Betawi tidak ?mandeg? atau berhenti karena komunikasi antara seniman dan penikmat seni berjalan lancar.

Sementara bagi penggiat pariwisata di ibukota pun bakal memiliki objek pariwisata budaya yang dapat dipertunjukkan kepada wisatawan, baik dari domestik maupun informasi beasiswa luar negeri negeri.

Dalam seni musik Betawi seperti gambang kromong, misalnya. Setelah Benyamin Sueb meninggal dunia pada 5 September 1995, Betawi, juga Jakarta, sebenarnya telah kehilangan ikon musisi berbakat yang serba bisa.

Yang menyedihkan adalah hingga saat ini, setelah satu dasawarsa lebih, tidak ada yang bisa menggantikan peran Bang Ben sebagai ikon di tengah makin majunya industri musik di Indonesia.

Upaya untuk menciptakan "Bang Ben-Bang Ben" baru pun tidak terlihat. Belum pernah terdengar, misalnya, adanya pelaksanaan festival musik gambang kromong.

Ada yang menyebut, Pemprov DKI Jakarta juga harus fokus memikirkan pengembangan dan pelestarian seni budaya Betawi, selain mencoba membangun komunitas Betawi.

Barangkali dengan makin maraknya pertunjukkan seni budaya di era globalisasi saat ini, seni budaya Betawi juga dapat menunjukkan eksistensinya.

Jika demikian, paling tidak pembangunan komunitas Betawi dan seni budayanya bakal saling mendukung agar komunitas Betawi tetap eksis.(*)